Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Para tamu undangan, hadirin sekalian, yang saya hormati
Bismillahirrohmanirrohim
Sebelum penyerahan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal sebagai sikap dan alasan kenapa kami Pondok Pesantren memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Bapak Ubaidillah Anwar.
Yang pertama, gelar Honoris Causa adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi atau universitas kepada seseorang yang telah berkontribusi kepada masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, pendidikan,kebudayaan dan pengajaran. Lazimnya, gelar ini diberikan kepada seseorang tanpa melalui proses untuk mengikuti pendidikan atau kuliah.
Yang kedua, tidak semua perguruan tinggi bisa memberikan gelar Doktor Honoris Causa kecuali perguruan tinggi yang telah memiliki program doktor dan juga memiliki jurusan atau bidang study yang cocok dengan gelar penghargaan yang akan diberikan.
Yang ketiga, pertanyaannya adalah kenapa kami, Pesantren Bina Insan Mulia, memberikan gelar kehormatan Honoris Causa, padahal kami ini pesantren?Kami tetap menghormati ketentuan yang sudah berlaku di perguruan tinggi, dan kami juga tidak mau melanggar aturan tersebut.Pemberian gelar Doktor Honoris Causa yang kami berikan hari ini Honoris Causa ala pesantren, bukan ala kampus.Tujuannya jelas, yaitu sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi yang konsisten yang dilakukan santri-santri Indonesia di bidang ilmu pengetahuan. Mereka akan mendapatkan gelar Honoris Causa ala pesantren. Ini berarti tidak hanya sekali ini, tapi akan berlanjut.
Yang keempat, lantas apa acuanya? Tentu acuannya atau standarnya adalah al-Quran, al- Hadits dan budaya lokal. Rasulullah menyampaikan pesan, “Khairun naas anfaauhum linnaas wa ahsanul khuluqa”. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan kontribusi kepada manuisa lain kepada masyarakat banyak dan memiliki akhlak yang terpuji. Kontribusi tersebut bisa berbentuk ilmu pengetahuan, tehnologi, sosial dan lain sebagainya. Dengan alasan inilah kita memberikan apresiasi kepada santri-santri yang telah berkontribusi kepada masyarakat.
Tahun ini, kami memberikan anugerah gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Bapak Ubaidillah Anwar, karena yang bersangkutan telah memberikan kontribusi di dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dialah salah satu dari sedikit santri yang telah mengajar di industri, perguruan tinggi, birokrasi, pondok pesantren, dan masyarakat luas, mulai dari perusahaan nasional, multinasional, instansi pemerintah dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional.
Uniknya, beliau fokus pada satu bidang, yaitu soft skill. Soft skill adalah satu konsep yang sehari-harinya dipraktikkan pesantren, meskipun secara teori tidak diajarkan secara spesifik.Soft skill, sebagaimana disampaikantadi, adalah keahlian yang terkait dengan implementasi akidah, akhlak, dan tasawuf.
Dan perlu diketahui bahwa hingga hari ini belum ada satu universitas pun atau satu perguruan tinggi pun di Indonesia yang memiliki jurusan soft skill. Sudah bisa dibayangkan, tidak ada yang bisa memberikan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Bapak Ubaidillah Anwar dengan potensi yang luar biasa ini.Lalu siapa lagi kalau bukan pesantren, kerena pesantrenlah yang sesungguhnya mengajarkan, mempraktekkan soft skill dalam kehidupan sehari-hari?
Bapak Ubaidillah Anwar adalah sosok yang sudah berkarya dan berkontribusi di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan yang mengagetkankalau bertanya berapa artikel yang telah ditulis Bapak Ubaidillah hingga umur yang sudah mendekati angka 50 tahun ini? Sudah 1112 yang dia tulis dan telah diterbitkan di sejumlah media, baik cetak dan online serta jurnal ilmiah di tingkat nasional dan internasional.
Bukan itu saja, ada 45 buku lebih yang telah beliau tulis dan telah diterbitkan oleh berbagai penerbit nasional, antara lain: Gramedia, Kompas, Mizan, bahkan termasuk oleh perusahaan saya sendiri. Artinya, karya beliau luar biasa. Selain itu, beliau adalah salah seorang yang kegiatan sehari-harinya adalah narasumber seminar, lokakarya, menjadi tranier, serta konsultan pengembangan soft skill di sejumlah perusahaan dari skala kecil, menengah, dan besar, seperti Lexus, Nestle, Krakatau Steel, dan lain-lain.
Pondok Pesantren Bina Insan Mulia merasa layak memberikan kehormatan Honoris Causa kepada beliau.Harapan kami dengan apresiasi yang kami berikan ini semoga bisa lebih memotivasi Bapak Ubaidillah Anwar untuk berkontribusi kapada masyarakat Indonesia ini sekaligus menjadi motivasi kita semua, khususnya para santri untuk bisa seperti Bapak Ubaidillah Anwar.
Tadi Bapak Ubaidillah menceritakan ada santri yang sudah mencapai juara tingkat nasional dan internasional di bidang kaligrafi.Karena saking langkanya bidang ini, setiap kali diadakan perlombaan, pemenangnya selalu kalau bukan dia ya muridnya.Dengan kemampuan yang sangat hebat ini, tidak ada apresiasi apa-apa dari dunia pendidikan, padahal ini manusia luar biasa dan santri. Apakah pesantren akan diam terus melihat kenyataan seperti ini? Di dunia ini tidak ada jurusan kaligrafi di kampus nasional ataupun internasional, yang adahanya di pondok pesantren. Maka kalau kita tidak berperan memberikan apresiasi kepada santri yang seperti ini, lantas siapa yang akan memberikan apresiasi kepada mereka?
Saya berharap penganugerahan Honoris Causa ini menjadi tombak awal Pondok Pesantren di Indonesia untuk melakukan pemberian gelar Honoris Causa kepada santri-santri Indonesia yang telah berkarya. Saya berharap pondok-pondok pesantren lain memiliki keberanian untuk memberikan gelar kepada santrinya. Dibanding dengan pesantren yang telah ada, pesantren kita ini pesantren yang masih baru merangkak, belum apa-apa, sementaraada ribuan pesantren berada di atas kita secara prestasi tapi nyalinya saja yang masih belum muncul untuk memberikan apresiasi.
Ketika saya menyampaikan maksud saya memberikan gelar kehormatan ini di media sosial, banyak yang kirim pesan (in-box) ke saya,menjelaskan tentang undang-undang terkait dengan pemberian gelar Doktor Honoris Cuasa ini. Saya bilang ke mereka, jangan ngomong undang-undang, datanglah ke acara,nanti saya jelaskan. Mau bagaimana santri-santri yang luar biasa itu, apakah kita hanya diam?
Saya kira inilah langkah awal. Saya berharap ke depan pondok-pondok pesantren di Cirebon, di luar cirebon, dan di Indonesia ini memiliki keberanian untuk memberikan apresiasi kepada santri-santri yang berprestasi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, karena pesantren itu mengajarkan segala ilmu kehidupan, tidak menganut metode pendidikan fakultatif. Mudah-mudahan ini menjadi tradisi yang akan kita bangun sebagaimana tradisi wisuda
Saya tidak pernah membayangkan ada tradisi wisuda yang sudah begitu membudaya di kita. Sejak saya kecil, saya tidak pernah diwisuda bahkan saya ingat sampai hari ini, saya keluar dari Universitas Al-Azhar Mesir pun tanpa wisuda. Tetapi saya terheran-heran anak zaman ini, sekolah TK saja sudah ada wisuda. Ini tandaada perubahan yang begitu besar. Perubahan itu berawal karena ada berani yang mengawali sehingga wisuda itu menjadi tradisi yang dilakukan semua lembaga pendidikan. Dan saya berharap tradisi penganugerahan gelar Honoris Causa akandilakukan di pondok-pondok lain. Tentunya perlu ada upaya standarisasi yang dibuat sehingga tokoh-tokoh yang diberikan ini memiliki kelayakkan.
Yang perlu jadikan catatan penting adalah gelar Honoris Causa yang diberikan adalah gelar ala pesantren, bukan ala yang lain. Adabanyaksms dan telepon ke saya, ada dariseorang rektor dan dekan sebuah kampus di Bandung. Mereka protes dan mengatakan langkah yang saya ambil ini melanggar undang-undang.
Saya katakan ke mereka saya sudah mengkaji berbagai hal sebelum melakukan ini, termasuk undang-undang.Jadi, jangan ngomong undang-undang.Saya siapkan jiwa dan raga saya untuk memperjuangkan kepentingan pesantren dan santri di Indonesia. Mudah-mudahan ini menginspirasi pondok pesantren laindan menumbuhkan nyalinya untuk melakukan sesuatu yang sangat penting bagi santri dan pesantren.
Pondok pesantren telah melahirkan ratusan profesor, salah satunya ada yang hadir di sini, yaitu Professor Maksum, dan saya juga dari pesantren.Pesantren telah melahirkan banyak pemimpin di kampus, di organisasi, di sekolah, di birokrasi, dan lain-lain.Pertanyaanya, bagaimana kalau dibalik, apakah kampus, organasisai, atau sekolah, bisa melahirkan kyai?Fakta membuktikan masih sangat-sangat jarang terjadi.Kenapa?Untuk mencetak kyai dibutuhkan soft skill keikhlasan yang tidak mudah untuk dijalankan.
Demikian sambutan saya, wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Imam Jazuli, Lc., MA
Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia