Orasi Ilmiah Ubaydillah Anwar (Membobol Kungkungan Zaman, Menjemput Kejayaan)

Honoris causa dari Pesantren Bina Insan Mulia

 

Yang saya hormati:

 

  1. Bapak pengasuh dan pemimpin pesantren Bina Insan Mulia, KH. Imam Jazuli, LC, MA beserta keluarga
  2. Tamu kehormatan dari berbagai kalangan, dari berbagai  organisasi dan instansi, yang  tidak saya sebutkan satu persatu namanya di sini
  3. Guru-guru dan seluruh anshor pesantren global Bina Insan Mulia
  4. Wali santri-santriwati dari berbagai daerah
  5. Wisudawan dan wisudawati

 

 

Hadirin sekalian yang saya hormati

 

Tepat hari ini, Minggu 21 Mei 2017 (24 Sya’ban 1438), telah terjadi ledakan besar, big bang, zilzalatul ardl, di dunia pesantren. Kenapa? Sejak sistem pesantren dirintis, di era Sunan Ampel pada abad 16, sampai hari ini, dimana jumlah pesantren yang tercatat mencapai 25.000, namun baru ada satu kyai yang berani  menganugerahan gelar kehormatan Doktor Honoris Cause kapada santri-santri Indonesia yang berprestasi di bidang ilmu pengetahuan, yaitu KH. Imam Jazuli, Kyai kita bersama, Kyai yang thinking without the box.

 

Langkah sarat nyali ini semoga bisa menginspirasi para kyai di Indonesia sebagai upaya nyata untuk menjemput kejayaan umat Islam kembali hadir di muka bumi. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu ciri paling menonjol di era kejayaan umat Islam, yang diperkirakan terjadi pada abad ke-VII sampai abad ke-XII, adalah apresiasi dan motivasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Melalui ilmulah Allah memberikan sulthon yang mampu menembus batas. Ketika Nabi Sulaiman diberi pilihan antara ilmu, harta, dan kekuasaan, Sulaiman memilih ilmu lalu Allah memberikannya harta dan kekuasaan.

 

Kita perlu sadar bahwa hari ini kita semua sedang memasuki sebuah era yang disebut disruption era, sebuah kekacauan yang mendadak hadir di tengah kita lalu mengobrak-abrik kenormalan yang telah menjadi sistem hidup. Sumber utama disruption adalah temuan sains dan tehnologi yang menghasilkan internet dan gajet. Komunikasi antarmanusia berubah, bisnis berubah, sosial berubah, politik berubah, budaya berubah dan pendidikan pun terkena perubahan.

 

Untuk menghasilkan nasabah 30 juta, perusahaan bisnis konvensional, seperti bank, membutuhkan waktu puluhan tahun, tapi hanya butuh waktu enam bulan perusahaan berbasis online telah mampu memiliki nasabah lebih dari 30 juta. Setahun percakapan manusia di dunia pada tahun 2003 (sebelum disruption) jumlahnya sama dengan 2 hari percakapan manusia di tahun 2017.

 

Dahulu, hanya orang kaya raya yang bisa memiliki buku-buku berbahasa Arab atau berbahasa Inggris karena mahal harganya dan susah mengirimnya. Namun sekarang ini keadaan itu telah dibobol oleh tehnologi sehinggasemua orang dimanapun berada selama terhubung dengan internet, memiliki kesempatan yang sama untuk mempelajari buku berbahasa apapun di dunia ini dengan para guru besar terbaik di bidangnya.

 

Bagaimana kita perlu memaknai ini semua bagi kemajuan pesantren dan santri? Al-Quran telah memberikan isyarat bahwa pada setiap realitas yang muncul, selalu pilihannya ganda: yudlillu bihi katsiiron wa yahdii bihi katsiiro, ada yang memilih disesatkan oleh realitas itu dan ada yang memilih untuk mengambil pencerahan dari realitas itu.

 

Hadirnya era disruption (kekacauan) harus kita terima dengan sikap hati yang “al-hamdulillah” atau jembar hati supaya kita punya jalan untuk mengambil pencerahan dari realitas ini dengan menerapkan iqro.  Kita perlu berani mengubah mindset dan cara bertindak untuk membobol kungkungan zaman yang sengaja dibangun oleh strategi penjajahan agar santri dan pesantren selalu terdampar langkahnya dalam keterbelakangan.

 

Saya yakin pengaunegerahan gelar kehormatan bagi santri Indonesia ini, yang dipelopori oleh Pesantern global Bina Insan Mulia ini, menjadi darah baru dan api spirit untuk menggiatkan kiprah santri di berbagai ilmu pengetahuan.

 

 

Hadirin sekalian yang saya hormati

 

Sebagai penerima gelar kehormatan ini, saya akan memproklamirkan sikap hati saya sebagai berikut:

 

Pertama, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pimpinan Pesantren Bina Insan Mulai beserta seluruh Civitas Akademika yang telah berani dan bekerja sehingga acara ini lancar. Kepada Allahlah saya memasrahkan balasannya.

 

Kedua, saya tidak peduli dengan akreditas, bonafiditas, termasuk tidak peduli juga apakah PBB, UNESCO, dan badan-badan pendidikan di luar sana mengakui atau tidak. Saya juga menolak untuk berurusan dengan pro-kontra mengenai gelar kehormatan ini. Yang saya pegang teguh adalah dengan usia manusia yang pendek di dunia ini, seorang santri harus mengaktualisasikan potensi dirinya agar bisa berkontribusi pada kehidupan nyata dengan cara-cara yang diridhoi sebagai bekal untuk menghadap ilahi robby.

 

Ketiga, saya akan gunakan gelar kehormatan ini sebaik mungkin untuk meningkatkan kiprah saya dalam pengembangan soft skill di masyarakat guru pesantren dan pendidikan Islam di berbagai tempat melalui kegiatan creative teaching network dan menyebarkannya lewat tulisan, seminar, training, dan berbagai kegiatan ilmiah lain.

 

Hadirin sekalian yang saya hormati

 

Sejak saya menyelesaikan tugas pengabdian dari pesantren, tahun 1994, saya putuskan untuk menaruh konsentrasi saya pada kajian dan pengembangan soft skill. Selain mengkaji dari literatur secara otodidak, saya menggalinya dari pengalaman di tempat kerja, dan juga melalui pendidikan professionalyang saya ikuti. Pendidikan pesantren yang banyak berkontribusi pada langkah saya adalah mentalitas, keterampilan menulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Arab dan Bahasa Inggris.

 

Sekilas mengenai soft skill dapat saya jelaskan di sini bahwa pada setiap penyelesaian tugas atau aktivitas, apapun bentuknya, apakah itu pekerjaan atau ibadah, sesungguhnya kita butuh untuk menerapkan dua keahlian utama, yaitu keahlian tehnis atau prosedur, yang biasa disebut hard skill (keahlian keras atau yang kelihatan) dan keahlian mental-spiritual yang biasa disebut soft skill (keahlian lunak atau yang tidak kelihatan). Hard-skill-nya sholat adalah penerapan prosedur figh di dalamnya, sedangkan soft skill-nya adalah penerapan doktrin akidah, tasawuf, dan akhlak.

 

Kalau menelaah ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, di sana sarat dengan perintah untuk menggunakan soft skill agar kualitas hidup kita selalu meningkat. Syukur adalah soft skill. Syukur dan tidak syukurnya seseorang tidak ditentukanoleh kehidupan lahiriyah, tetapi sejauhmana seseorang memaknai hidupnya. Sabar, iqra, jihad, ta’aawun, wara, tawakkal, ikhlas, dan lain-lain adalah berbagai keahlian yang tidak kelihatan, namun dampaknya sangat menentukan kehidupan.

 

Di dunia industri dan pendidikan modern, pengembangan soft skill terkait dengan tiga hal, yaitu: a) bagaimana seseorang mengembangkan dirinya: potensinya, bakatnya, dll, b) bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang sesamanya; termasuk berkomunikasi, mengatasii konflik, dan lain-lain, dan c) bagaimana seseorang mengembangkan orang lain, antara lain: memimpin, membina, dan lain-lain.

 

Bukti-bukti dari lapangan dan riset menyimpulkan bahwa untuk sebuah pekerjaan atau tugas jangka panjang, prestasi seseorang dalam pekerjaannya lebih banyak ditentukan oleh soft skill. Peranan soft skill bisa sampai 80%. Hampir semua orang diterima pada sebuah pekerjaan atau jabatan karena hard-skill-nya melalui ijazahnya, tetapi sebagian besar orang mendapatkan kenaikan, penghargaan, dan pemecatan karena soft-skill-nya.

 

Hadirin sekalian yang saya hormati

 

Rasulullah SAW adalah teladan soft skill terbaik buat kita sebagai santri. Ini dibuktikan oleh kiprah beliau dalam mewujudkan tujuan melalui penerapan konsep hidup yang oleh dunia modern disebut  “The core factors for success”, atau kunci utama berprestasi. Sayangnya, terhadap kunci utama berprestasi yang diwariskan Rasulullah itu, sebagian besar umat Islam baru pada tahap mengetahuinya, menghafalkannya atau memujinya melalui untaian kata-kata, dan masih sangat sedikit yang menerjemahkannya menjadi sifat diri yang nyata. Kunci utama berprestasi itu adalah:

 

Pertama, fokus pada tujuan yang jelas. Sebagian besar orang hanya memiliki keinginan di permukaan (wish), ingin menjadi ini, ingin menjadi itu, bahkan tidak sedikit yang sebatas hanya punya khayalan (illusion). Semua orang berprestasi di dunia ini punya tujuan yang jelas dan jelas-jelas diperjuangkan. Tujuan adalah sasaran dari perjuangan Anda, seperti seseorang yang berusaha keras untuk menendang bola ke gawang atau goal (tujuan).  Rasulullah sangat fokus pada tujuannya, sampai-sampai seandainya orang kafir mampu mendatangkan matahari dan bulan di tangan beliau sebagai cara agar beliau berhenti berdakwah, itu tetap ditolaknya.

 

Kedua, kesungguhan (sidq). Kesungguhan di sini punya dua arti yaitu kesungguhan dalam arti punya motivasi yang tinggi untuk meraih tujuan (sidqul irodah) dan kesungguhan dalam  berpegang prinsip atau disebut kejujuran. Tidak satu pun prestasi manusia di dunia ini yang bisa diraih tanpa kesungguhan sekalipun itu Nabi. Atas nama kesungguhan, Nabi berjalan dengan ketakutan menyusuri reute yang ganas dari Makkah ke Madinah yang jaraknya 498 kilo. Rahasia bakat Anda hanya bisa dibongkar dengan kesunguhan. Peluang kemajuan Anda hanya bisa diundang dengan kesungguhan. Semua kemajuan suatu bangsa, mereka meraihnya dengan kesungguhan atau jihaad.

 

Ketiga, kelayakan untuk dipercaya (amanah). Orang mendapatkan kepercayaan yang sempurna dari manusia dan Tuhan karena dua hal. Satu, karena kesalehan akhlaknya, dan dua karena keahliannya. Jika salah satu tidak kita miliki, maka kepercayaan orang dan Tuhan kepada kita menjadi berkurang. Orang lain memberi Anda kesempatan karena percaya. Orang lain berbisnis dengan Anda karena mereka percaya. Kepercayaan adalah modal berprestasi. Selain jujur, Nabi Muhammad juga seorang ahli.

 

Keempat, komunikasi (tabliigh) yang tepat sasaran. Riset ilmiah di bidang kewirausahaan menyimpulkan bahwa komunikasi dan kreativitas berperan sebanyak 85% penentu kesuksesan seorang pengusaha. Kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan sesama menjadi kunci berprestasi. Anda berkiprah di bidang apapun tetap saja ujung-ujungnya Anda bekerja dengan manusia. Nabi Muhammad sangat lihai berkomunikasi kepada berbagai latar belakang manusia.

 

Kelima, kecerdasan (fathonah). Untuk menjadi manusia yang cerdas, kuncinya adalah terus belajar (iqro) dan syarat untuk bisa iqra terus menerus, kita harus menempatkan diri sebagai orang yang “ummi” atau merasa belum tahu atau merasa perlu tahu sesuatu yang baru. Otak manusia dirancang oleh Tuhan mampu belajar dari lahir sampai mati selama orang punya kemauan dan rasa ingin tahu karena merasa belum penuh.

 

Saat Allah hendak menciptakan manusia, Allah telah berinvestasi besar-besaran dengan menciptakan malaikat pendamping, rizki, bakat, minat, atau kekuatan, namun kekuatan itu masih dalam bentuk potensi atau bahan baku. Untuk bisa menghasilkan prestasi dan kontribusi dibutuhkan aksi atau aktualisasi. Sebagian besar manusia gagal dalam beraktualisasi karena kalah melawan nafsu dirinya. Sebetulnya perintah dan larangan Allah diturunkan agar kita jadikan sebagai latihan  untuk mengalahkan nafsu itu, namun sayangnya pula kita lebih sering tidak menyadarinya.

 

Demikian orasi ini saya sampaikan semoga bermanfaat bagi santri-santri dan pesantren serta pendidikan Islam pada umumnya.

 

 

Depok, 18 Mei 2017

Ubaydillah Anwar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *